Struggle Penjual Mie Jowo

Foto 1. Mie jowo godhog (rebus) buatan Pak Yono

Tung.. tung.. tung.... suara lonceng yang biasa dipasang di leher sapi terdengar sayup-sayup. Kami pun berlari keluar, menanti kehadiran penjual mie jowo keliling yang biasa lewat di perumahan kami sekitar jam 9 malam.

Mie jowo merupakan makanan yang tidak asing  bagi masyarakat Kota Semarang. Selain di warung-warung di sudut-sudut kota,  penjual mie jowo keliling juga banyak ditemukan pada malam hari di sekitar pemukiman. Makanan ini memang enak dinikmati pada makan malam hari, terutama saat hawa dingin. Walaupun saat ini banyak makanan seperti junk food, namun mie jowo dari dulu masih selalu di hati masyarakat Semarang.

Malam itu gerimis turun. Perlahan Pak Yono, penjual mie jowo, mendorong gerobaknya dengan sesekali menggoyangkan lonceng untuk menawarkan dagangannya. Dengan baju agak basah, Pak Yono berhenti di depan rumah dan menyapa kami dengan akrab.

Pak Yono, salah satu pedagang keliling mie jowo di Kota Semarang. Dia sudah menjalani profesinya sejak tahun 1986. "Saya mulai jualan sejak harga mie masih 250 rupiah, hingga sekarang harga 10.000 per piring," jelasnya. Kemampuan mengolah mie jowo dia dapatkan dari Bapaknya yang juga penjual mie jowo di sebuah warung dekat Pasar Peterongan.

Biasanya mie jowo keliling mulai berdagang pada malam. Tak peduli malam yang cerah, gerimis ataupun hujan. Mereka mulai berdagang habis isya hingga jam 12 malam. 

"Sehari bisa terjual berapa porsi, pak?" tanyaku waktu menunggu pesanan mie godhognya. "Nggak pernah ngitung mbak, tapi kalo dari uang yang saya bawa pulang, kira-kira habis 35 porsi lah," akunya. 

Dengan mengkalkulasi harga mie per piring saya bisa memperkirakan pendapatannya. "Apa cukup untuk biaya anak-anak itu, pak?" tanyaku. 

"Dengan kuasa Tuhan, saya bisa menyekolahkan 3 anak saya. Bahkan yang sulung sekarang sudah lulus STM dan bekerja," jawabnya dengan bangga. "Yah istri saya juga mbantu kok, dengan dagang sayuran matang kalau pagi hari," sambungnya.

Foto 2. Pak Yono, pedagang mie jowo keliling sedang membuat mie di salah satu jalan sebuah pemukiman di Kota Semarang.

Setiap pagi Pak Yono membeli bahan-bahan seperti mie telur, sayuran, ayam, tepung, telur, dan lain-lain. Setiba di rumah dia langsung memasak untuk bahan-bahan mie nya seperti kekyan, sate dan kuah kaldu mie. Dengan modal sekitar 200 ribu, penjual mie hanya mendapatkan keuntungan yang tidak seberapa. Namun mereka tetap menjalankan pekerjaannya dengan telaten dan bersemangat.

"Bagaimana jika musim hujan pak? banyak yang beli nggak? Biasanya dingin-dingin kan enak makan mie godhog anget-anget" tanyaku. 

"Kalo hujan deras malahan banyak yang menutup pintu rumah. Nggak banyak yang beli,"cerita Pak Yono sendu. Namun walaupun di sini rejekinya berkurang tapi guyuran air hujan dapat menyuburkan sawah dan ladangnya yang di kampung. Gusti Allah ora sare. Intinya tetaplah bersyukur.

Mie Jowo berbeda dengan mie yang lain karena proses pembuatnnya menggunakan anglo yang berbahan bakar arang. Selain itu mie ini menggunakan kecap sehingga rasanya agak manis. Rasa dari mie jowo di Semarang berbeda dengan mie di di Solo ataupun Jogja. Oleh karena itu saya sering kangen dengan mie jowo ketika sedang berada di luar kota. 

Ada beberapa menu yang biasanya ditawarkan oleh pedagang mie jowo, ada mie godhog (rebus), mie nyemeg (kuah sedikit dan kental), dan mie goreng. Selain itu juga ada menu bihun godhog dan bihin goreng. Kuahnya yang hangat dan rasanya yang sesuai dengan lidah orang jawa, membuat banyak warga yang menunggu Pak Yono datang. 

END